Rabu, 18 Desember 2013

Bagaimana Cara Budaya Papua Beradaptasi Dengan Budaya Modern

 Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Ada Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat seperti budaya-budaya di kawasan papua yang begitu bisa dikatakan primitif yang jauh dari hal-hal modern. Tetapi jangan heran dulu. Artikel dari beberapa definisi yang baru anda baca diatas, tidak semua suku asmat di papua pada zaman sekarang dikatakan orang yang jauh dari hal-hal kehidupan modern ?? 
 Contohnya saja ada beberapa sebagian orang papua yang sudah mampu mengikuti dan menerima perubahan dan perkembangan budaya modern di zaman sekarang tetapi masih berlandaskan hal-hal yang normal, yang tidak meninggalkan akan budaya-budaya tradisional mereka juga begitu saja.

  Contoh dibawah ini adalah gambar bahwa ada beberapa sebagian orang yang beradaptasi dengan kebudayaan modern :


Beberapa kelompok pemuda yang memainkan alat musik modern
   
 Ciri-ciri Masyarakat yang menerima dan mampu beradaptasi dengan budaya modern adalah, sebagai berikut:
1. Masyarakat mampu dan menerima perubahan sosial budaya
2. Masyarakat mampu merubah pola pikir yang tertutup
3. Masyarakat mampu menerima dan mengikuti sistem pendidikan
4. Masyarakat mampu menerima pembaruan dengan budaya modern seperti hal-halnya kesenian seperti alat musik dan instrumen musik tradisional yang dipadukan dengan instrumen modern.
  
  Dari pengaruh Era Globalisasi itulah yang tidak bisa dipungkiri bahwa Pada zaman modern seperti sekarang ini, faktor dari budaya modern memang sangat kuat mempengaruhi pertumbuhan kehidupan pada kebudayaan tradisional. Mulai dari adanya perkembangan unsur-unsur dari bahasa atau yang disebut alat komunikasi interaksi manusia, alat musik, teknologi (IPTEK), sistem pengetahuan seseorang dan beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi besarnya perkembangan kehidupan modern. 

  Tetapi, Yah dalam mengikuti kehidupan budaya modern juga, kita sebagai masyarakat yang baik, jangan semudah itu juga melepaskan teguh kebudayaan tradisional dan juga sebagai masyarakat yang terbuka harus pandai dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan tradisionalnya masing-masing yang telah melekat dari diri kita sejak lahir.

Jumat, 13 Desember 2013

Alat Musik Tradisional Suku Asmat Papua

   
               
             Alat Musik Tifa
  Orang Papua dikenal bersifat ekspresif. Mereka mengisi setiap moment penting dalam kehidupannya  dengan jiwa seni yang sangat tinggi. Selain berekspresi dengan seni ukirannya yang khas, mereka juga suka menari dan mendengarkan suara musik dari alat musik tradisional Papua. Walau jenis alat musik tradisional Papua yang masih sering dipakai hingga saat ini mungkin tidak sebanyak dimasa lalu. Selain karena makin kurangnya minat dari generasi muda untuk melestarikannya, mungkin karena pengaruh masuknya budaya seni modern ke dalam kehidupan masyarakat Papua sekarang ini. 

TIFA

   Ada salah satu nama alat musik tradisional yang paling terkenal yang berasal dari Papua yaitu Tifa. Alat musik Tifa merupakan alat musik tradisional yang berasal dari daerah maluku serta papua. Bentuknya alat musik Tifa mirip gendang dan cara memainkannya Tifa adalah dengan cara dipukul. Alat musik Tifa terbuat dari bahan sebatang kayu yang isinya sudah dikosongkan serta pada salah satu ujungnya ditutup dengan menggunakan kulit hewan rusa yang terlebih dulu dikeringkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Alat musik ini sering di mainkan sebagai istrumen musik tradisional dan sering juga dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional, seperti Tarian perang, Tarian tradisional asmat, dan Tarian gatsi. 

Rumah Adat Suku Asmat

Rumah Adat Jew

  Suku Asmat memiliki rumah adat suku Asmat bernama Jew (Rumah Bujang). Rumah Jew memang memiliki posisi yang istimewa dalam struktur suku Asmat. Di rumah bujang ini, dibicarakan segala urusan yang menyangkut kehidupan warga, mulai dari perencanaan perang, hingga keputusan menyangkut desa mereka. Jew adalah tempat yang dianggap sakral bagi suku Asmat. Ada sejumlah aturan adat di dalamnya yang harus dipelajari dan dipahami oleh orang Asmat sendiri, termasuk syarat membangun Jew.

 Di dalam rumah adat suku Asmat ini juga tersimpan persenjataan suku Asmat seperti, tombak, panah untuk berburu, dan Noken. Noken adalah serat tumbuhan yang dianyam menjadi sebuah tas. Tidak sembarang orang boleh menyentuh noken yang disimpan di dalam rumah adat suku Asmat ini. Noken ini dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Ada syarat dan terapi-terapi tertentu yang harus dipatuhi pasien dan dipastikan sembuh.

  Seorang suku asmat di rumah bujang tersebut menceritakan bahwa pasien yang berobat secara adat, asal mematuhi aturan-aturan tersebut, kelak akan sembuh dalam waktu singkat.

Berikut beberapa hal menyangkut rumah adat suku Asmat (Jew) :
1. Rumah adat suku Asmat yang dibuat dari kayu ini selalu didirikan menghadap ke arah sungai.

2. Panjang rumah adat suku Asmat ini bisa berpuluh-puluh meter. Bahkan ada Jew yang panjangnya bisa sampai lima puluh meter dengan lebar belasan meter.

3. Sebagai tiang penyangga utama rumah adat suku Asmat, mereka menggunakan kayu besi yang kemudian diukir dengan seni ukir suku Asmat.

4. Mereka tidak menggunakan paku atau bahan-bahan non alami lainnya, tapi orang Asmat menggunakan bahan-bahan dari alam seperti tali dari rotan dan akar pohon.

5. Atap rumah adat suku Asmat ini terbuat dari daun sagu atau daun nipah yang telah dianyam. Biasanya warga duduk beramai-ramai menganyamnya sampai selesai.

6. Jumlah pintu jew sama dengan jumlah tungku api dan patung bis. Patung Bis mencerminkan gambaran leluhur dari masing-masing rumpun suku Asmat. Mereka percaya patung- patung ini akan menjaga rumah mereka dari pengaruh jahat.Jumlah pintu ini juga dianggap mencerminkan jumlah rumpun suku Asmat yang berdiam di sekitar rumah adat suku asmat. Setelah rumah Jew berdiri, para lelaki biasanya pergi berburu menggunakan perahu Chi untuk memenggal kepala musuh. Suku Asmat memiliki keunikan dalam mendayung perahu Chi yang bentuknya menyerupai lesung, yang terbuat dari pohon ketapang rawa, panjang sebuah chi bisa mencapai dua belas meter. Untuk membuatnya diperlukan waktu satu sampai dua minggu. Dayungnya terbuat dari kayu pala hutan dan bentuknya menyerupai tombak panjang. Sebagian perahu Chi diberi ukiran ular di tepinya serta ukiran khas Asmat di bagian kepalanya.

  Ular merupakan simbol hubungan antara suku asmat dengan alam. Perahu menjadi alat yang penting bagi mereka untuk mencari ikan sepanjang hari. Mengambil sagu, berburu buaya, berdagang, bahkan berperang. Dengan perahu ini, mereka bisa melintasi sungai hingga puluhan kilometer. Kedekatan suku Asmat dengan perahu kini menjadi atraksi menarik. Atraksi ini menggambarkan bagaimana suku Asmat berperang. Namun semenjak misionaris datang sekitar tahun lima puluhan, perang antar suku sudah tidak ada.

  Saat kembali, tetua adat akan menyambut mereka, menanyakan jumlah musuh yang berhasil dibunuh. Pesta pengukuhan rumah Jew dilakukan sepanjang malam. Mereka menari dan bernyanyi diiringi pukulan alat musik tradisonal Papua, Tifa. Dengan melakukan atraksi ini, orang suku Asmat percaya, roh para leluhur mereka akan datang dan akan menjaga rumah mereka.

  Jew adalah salah satu bagian dari nilai-nilai suku asmat yang melihat rumah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Suku Asmat, selain itu pandai membuat ukiran dan memahat yang sarat simbol leluhur mereka.

Papua Non-Melanesia Bahasa Suku Asmat

Bahasa Sistem Ide
   Sebuah karangan etnografi, memberi deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan, berserta variasi-variasi dari bahasa itu. Seperti suku asmat menggunakan Bahasa-bahasa yang digunakan kelompok bahasa yang oleh para ahli linguistik disebut sebagai Language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi filum bahasa-bahasa Irian (Papua) Non-Melanesia. Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsanya dapat diuraikan dengan cara menempatkannya setepat-tepatnya dalam rangka klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, sub rumpun, keluarga, dan sub keluarga bahasanya yang wajar, dengan beberapa contoh fonetik, fonologi, suntaks, dan sementik, yang diambil dari bahan ucapan bahasa sehari-hari. Bahasa dalam etnografi mempunyai sebuah lampiran yang berisi daftar kata-kata dasar. Bahasa memang tidak mudah karena suatu bahasa menentukan sebuah luas batas penyebaran bahasa tersebut. Perbatasan antara daerah tempat tinggal dua suku bangsa hubungan antara individu warga masing-masing suku  bangsa seringkali sangat intensif sehingga ada proses saling pengaruh-mempengaruhi antara unsur-unsur bahasa dari kedua belah pihak.

Sistem Perilaku
   Sistem perilaku masyarakat suku asmat masih terpengaryh oleh bahasa leluhur mereka. Setan yang tidak membahayakan hidup ilmu sihir hitam juga banyak dipraktikan di wilayah masyarakat Asmat, terutama oleh kaum wanita. Seseorang yang mempunyai kekuatan ini dapat menyakiti atau membunuh manusia. Ilmu ini biasanya diturunkan oleh seorang ibu kepada anak perempuannya untuk senjata perlindungan diri.

   Bahasa-bahasa tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai atau hilir sungai dan Asmat hulu sungai. Lebih khusus lagi, oleh para ahli bahasa dibagi menjadi bahasa Asmat hilir sungai dibagi menjadi sub kelompok Pantai Barat Laut atau pantai Flamingo, seperti misalnya bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan sub kelompok Pantai Baratdaya atau Kasuarina, seperti misalnya bahasa Batia dan Sapan.Sedangkan Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub kelompok Keenok dan Kaimok.

Beberapa istilah bahasa yang digunakan suku asmat :
1. Aipmu ep = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke udik
2. Aipmu sene = rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke hilir
3. Aipmu = bagian utama yang ada di tiap rumah bujang dan memiliki seorang kepala
4. Asmat-ow = manusia sejati
5. Bis = patung leluhur
6. Bivak = rumah di hutan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara
7. Cemen = bagian terpenting pada patung bis
8. Fumiripits = Sang pencipta
9. Iguana = sejenis kapal

Wujud Budaya
   Bahasa suku asmat merupakan alat komunikasi diantara masyarakat suku asmat, yang banyak tersebar di wilayah papua. Meskipun suku asmat mempunyai wujud budaya bahasa keseharian tapi suku asmat menggunakan bahasa Indonesia. Banyak dikalangan masyarakat suku asmat tidak faham akan bahasanya. Dalam keseharian suku asmat mereka menggunakan bahasa nenek moyang yang sudah berumur ribuan tahun. Meskipun mereka mempunyai bahasa sendiri sekalipun tetapi masyarakat suku asmat tidak mengghilangkan bahasa Indonesia. Bahasa masyarakat asmat bermacam-macam karena setiap berbeda wilayah mereka mempunyai bahasa sendiri. Akan tetapi, setiap wilayah itu membuata rumpun bahasa yang sama karena bahasa merupakan alat komunikasi yang harus dimengerti satu sama lain.  Bahasa suku asmat mempunyai istilah selayang pancong. Dalam konteks catatan sejarah, papua mulai di ungkap dari tulisan tenteng new guienea, dimasa kedatangan portugis seperti kulit gelap, berbulu tebal, dan rambutya yang kriting. Bahasa suku asmat yang menjadi salah satu pemerkaya bahasa dan adat istiadat kekayaan cultural.


Kamis, 12 Desember 2013

Tarian Suku Asmat


Tarian Perang atau Tarian Tobe
  Tarian perang atau Tari Tobe adalah tarian tradisional suku asmat, tarian perang/tari tobe sering digunakan apabila ada upacara-upacara adat tertentu. Dahulu tari Tobe dilakukan ketika kepala suku memerintahkan rakyat untuk pergi berperang. Kini tarian perang menjadi tari resmi penyambutan tamu. Tarian ini dilakukan oleh 16 penari laki-laki dan 2 penari perempuan. Mereka menari dengan iringan tifa dan lantunan lagu-lagu perang pembangkit semangat. Tari ini memang dimaksudkan untuk mengobarkan semangat para prajurit. Penari biasanya mengenakan busana tradisional dengan manik-manik penghias dada, rok terbuat dari akar bahar, dan daun-daun yang disisipkan pada tubuh. Pakaian penari merupakan salah satu bukti kecintaan masyarakat Papua pada alam.

Kamis, 05 Desember 2013

Lirik Lagu Papua



Sajojo 
Sajojo, sajojo
Yumanampo misa papa
Samuna muna muna keke
Samuna muna muna keke

Sajojo, sajojo
Yumanampo misa papa
Samuna muna muna keke
Samuna muna muna keke

Kuserai, kusaserai rai rai rai rai
Kuserai, kusaserai rai rai rai rai

Inamgo mikim ye
pia sore, piasa sore ye ye
Inamgo mikim ye
pia sore, piasa sore ye ye

Apuse
Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Arafabye aswarakwar
Arafabye aswarakwar

Yamko Rambe Yamko  
Hee yamko rambe yamko aronawa kombe
Hee yamko rambe yamko aronawa kombe
Teemi nokibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Teemi nokibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Hongke hongke hongke riro
Hongke jombe jombe riro
Hongke hongke hongke riro
Hongke jombe jombe riro



Sabtu, 23 November 2013

(Cerita Rakyat Papua) Biwar Sang Penakluk Naga

Biwar Sang Penakluk Naga 


Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.

Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur,[1] mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari.

Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya. Setelah rebah, pohon sagu itu mereka kuliti untuk mendapatkan hati sagu yang berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon itu mereka tumbuk hingga menyerupai ampas kelapa dengan menggunakan pangkur. Hasil tumbukan itulah yang disebut dengan sagu. Selanjutnya, sagu tersebut mereka kumpulkan pada sebuah wadah bambu yang sudah dibelah, lalu mencampurinya dengan air.

Setelah itu, kaum perempuan segera memeras sagu itu. Air perasan inilah yang mengandung sari pati sagu. Untuk mendapatkan sari pati tersebut, air perasan mereka biarkan beberapa saat hingga sari patinya mengendap di dasar wadah bambu. Setelah air perasan berubah dari warna putih menjadi jernih, air yang jernih tersebut mereka buang hingga yang tersisa hanyalah endapan inti sagu. Inti sagu itu kemudian mereka bentuk seperti bola tenis atau memanjang seperti lontong. Selanjutnya, sagu-sagu yang sudah siap dimasak tersebut mereka masukkan ke dalam wadah yang disebut dengan tumang, yaitu keranjang yang terbuat dari rotan.

Setelah menaikkan semua tumang yang berisi sagu tersebut ke atas perahu, rombongan itu pun berlayar menyusuri sungai untuk kembali ke perkampungan. Saat perahu yang mereka tumpangi melewati sungai di daerah Tamanapia, tiba-tiba seeokar naga muncul dari dalam air dan langsung menyerang mereka. Hanya sekali kibas, ekor naga itu mampu menghancurkan perahu itu hingga berkeping-keping. Tak ayal, seluruh penumpangnya terlempar dan tenggelam di sungai, kecuali seorang perempuan yang sedang hamil dapat menyelamatkan diri.

Kebetulan perempuan hamil mampu meraih salah satu kepingan perahu yang telah hancur saat ia terlempar ke sungai. Kepingan perahu itulah kemudian ia jadikan sebagai pelampung hingga dapat sampai ke tepi sungai dan melarikan diri masuk dalam hutan. Untuk berlindung dari binatang buas, perempuan hamil itu tinggal di dalam sebuah gua yang ia temukan dalam hutan tersebut. Dalam keadaan hamil tua, perempuan yang malang itu berusaha mencari daun-daun muda dan umbi-umbian untuk bisa bertahan hidup.
Suatu hari, dengan susah payah perempuan itu berjuang melahirkan seorang diri. Atas kuasa Tuhan, ia berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan diberinya nama Biwar. Kini, perempuan itu tidak lagi kesepian tinggal di tengah hutan tersebut. Ia pun merawat dan membesarkan Biwar dengan penuh kasih sayang. Saat Biwar tumbuh menjadi remaja, ia mengajarinya berbagai ilmu seperti cara memanah, menangkap binatang, dan membuat api. Selain itu, ia juga mengajari Biwar bermain tifa[2] hingga mahir memainkan alat musik tersebut.

Beberapa tahun kemudian, Biwar telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan, kuat, dan gagah perkasa. Setiap hari ia membantu ibunya mencari lauk dengan cara memancing ikan di sungai. Ia juga membantu ibunya membuat sebuah rumah sederhana yang disebut dengan honai, yaitu rumah adat masyarakat Papua yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut dari jerami atau ilalang. Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari memancing di sungai dengan membawa beberapa ekor ikan besar. Setiba di depan rumahnya, ia meletakkan ikan hasil tangkapannya itu di tanah seraya berteriak memanggil ibunya.

“Mama[3]..., Mama..., keluarlah lihat! Biwar membawa ikan yang besar-besar,” teriak Biwar.

Mendengar teriakan itu, ibunya pun keluar dari dalam rumah seraya bertanya, “Dari mana kamu dapatkan ikan itu, Anakku?”

“Tadi Biwar memancingnya di sebuah sungai yang dalam. Sungai itu banyak sekali ikannya dan pemandangan di sekitarnya amat indah,” ungkap Biwar, “Jika Mama ingin melihatnya, besok Biwar akan tunjukkan tempat itu.”

Sang ibu menerima ajakan Biwar. Keesokan hari, berangkatlah mereka ke sungai yang dimaksud. Alangkah terkejutnya ibu Biwar saat tiba di sungai itu. Ia langsung teringat kepada almarhum suaminya.

“Biwar, Anakku! Ketahuilah, ayahmu beserta keluarga dan teman-teman Mama tewas di sungai itu karena diserang oleh seekor naga!” ungkap sang ibu mengenang masa lalunya yang amat memilukan hati.

Mendengar kisah sedih ibunya, Biwar bertekad untuk membinasakan naga itu. Namun, sang ibu mencegahnya.

“Tapi, Biwar! Naga itu sangat ganas,” cegah ibunya. “Tidak Mama. Bukankah Mama telah mengajarkan Biwar berbagai ilmu? Dengan ilmu itulah Biwar akan membinasakan naga yang menghilangkan nyawa Papa,” tegas Biwar. Sang ibu tidak mampu membendung tekad keras Biwar. Sebelum melaksanakan tekadnya, Biwar bersama ibunya pulang ke rumah untuk menyiapkan semua senjata yang diperlukan. Setelah menyiapkan tombak, golok, dan panahnya, Biwar pun berpamitan kepada ibunya untuk pergi mencari sarang naga itu di sekitar sungai. “Hati-hati, anakku!” ujar mama-nya.“Baik, Mama,” jawab Biwar seraya meninggalkan ibunya.

Setiba di tepi sungai, Biwar melihat sebuah gua yang diduga sebagai tempat persembunyian naga itu. “Aku yakin naga itu pasti bersembunyi di dalam gua ini,” gumam Biwar.
Dengan langkah perlahan-lahan, Biwar mendekati gua itu. Sesampai di depan mulut gua, ia segera mengambil tifa yang diselipkan di pinggangnya lalu meniupnya untuk memancing naga itu agar keluar dari dalam gua. Alunan musik tifa yang dimainkan Biwar benar-benar menarik perhatian sang naga. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah suara gemuruh dari dalam gua.

Mendengar suara itu, maka semakin yakinlah Biwar bahwa di dalam gua itulah sang naga bersarang. Ia pun segera bersiap-siap dengan golok di genggamannya untuk berjaga-jaga kalau-kalau naga itu datang menyerangnya. Ternyata benar, tak lama berselang, kepala naga itu tiba-tiba muncul di mulut gua. Tanpa berpikir panjang, Biwar segera melemparkan tombaknya ke arah kepala naga itu dan berhasil melukainya. Meskipun terluka parah, naga itu masih terlihat ganas. Maka sebelum naga itu menyerangnya, Biwar segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya.

“Terimalah pembalasan dari ayah dan keluargaku yang telah kau binasakan di sungai ini!” seru Biwar seraya memenggal kepala naga itu hingga nyaris putus.

Tak ayal, naga itu jatuh terkulai di depan mulut gua. Melihat hal itu, cepat-cepat Biwar menimbun tubuh naga itu dengan bebatuan. Setelah memastikan naga itu benar-benar telah mati, ia pun segera pulang ke rumahnya untuk memberitahukan keberhasilannya membinasakan naga itu kepada ibunya. Betapa senangnya hati sang ibu mendengar berita gembira tersebut.

“Naga telah menerima hukumannya. Kini hati Mama sudah lega,” ucap ibunya, “Segeralah buat perahu anakku lalu kita kembali ke perkampungan!”

Keesokan harinya, Biwar pun membuat sebuah perahu kecil yang cukup ditumpangi mereka berdua. Dalam beberapa hari, perahu itu pun selesai dibuatnya dan siap untuk digunakan. Akhirnya, dengan perahu itu, Biwar bersama ibunya berlayar mengarungi sungai menuju ke tanah kelahiran ibunya. Setiba di perkampungan, mereka pun disambut dengan gembira oleh penduduk setempat. Untuk merayakan keberhasilan Biwar sebagai pahlawan yang telah menaklukkan naga itu, mereka mengadakan pesta yang meriah.

* * *
Demikian cerita Biwar Sang Penakluk Naga dari daerah Mimiki, Provinsi Papua. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan sifat sabar dan pemberani. Sifat sabar ditunjukkan oleh ditunjukkan oleh perilaku ibu Biwar yang senantiasa berjuang melahirkan dan membesarkan Biwar seorang diri di tengah hutan. Berkat kesabarannya, ia berhasil mendidik Biwar menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Sementara itu, sifat pemberani ditunjukkan oleh keberanian Biwar menghadapi seekor naga yang ganas. Dengan keberanian yang dimiliki, ia berhasil membinasakan naga itu.

[1] Pangkur adalah alat untuk memangkur sagu yang bentuknya mirip cangkul. Hanya saja, bentuk pada bagian ujungnya seperti tombak, lancip, dan lebih kecil.

[2] Tifa adalah alat musik tradisional masyarakat Papua yang bentuknya menyerupai gendang dan dimainkan dengan cara dipukul.

[3] Mama artinya Ibu.

KONSEP OOP (OBJECT ORIENTED PROGRAMMING)

Pemrograman Berorientasi Objek atau yang dikenal dengan istilah Object Oriented Programming (OOP)merupakan pemrograman yang berorientasikan...